Jumat, 12 Juni 2015

Isi sabda raja sultan Hamengku Bowono X

YOGYAKARTA - Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X membeberkan isi sabda raja yang dikeluarkannya beberapa waktu lalu serta dawuh (perintah) dari leluhurnya. Menurutnya, yang disampaikannya adalah sabda raja dan dawuh yang asli.
"Saya akan menyampaikan dua hal (sabda raja dan dawuh) yang bagi saya menjadi polemik. Biar pun bener tapi ra (tidak) bener, karena yang diotak atik lima hal yang belum tentu benar. Saya sampaikan sabda raja dan dawuh yang asli, tidak fotokopi," kata Sultan, sore tadi.

Sabda raja
"Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto paringono siro kabeh adiningsun, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem nompo welinge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto lan romo ningsun eyang-eyang ingsun, poro leluhur Mataram wiwit waktu iki ingsun nompo dawuh kanugrahan dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto asmo kelenggahan ingsun Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo.
Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni diugemi lan ditindakake yo mengkono sabdo ingsun."

Duwuh leluhur

"Siro adi ingsun, sekseono ingsun Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo Kadawuhan netepake Putri Ingsun Gusti Kanjeng Ratu Pembayun tak tetepake Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun."

Berita yang Terkait

TEMPO.CO , Yogyakarta: Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, menilai penjelasan Sultan Hamengku Buwono X mengenai isi Sabda Raja pada Jumat pekan lalu merupakan strategi terbaik dalam proses suksesi di Kerajaan Jawa. Apalagi, Bayu juga menilai Sultan menjalankannya karena wangsit leluhur.

"Pola suksesi di Kraton Jawa seperti itu, legitimasi mistis paling utama, baru legitimasi profan," kata Bayu. Minggu, 10 Mei 2015.

Bayu menjelaskan pada tradisi suksesi raja-raja Mataram Islam dan Kraton-Kraton penerusnya, wahyu Tuhan lewat bisikan leluhur merupakan sumber utama legitimasi. Aspek mistik mengabaikan segala bentuk proses politik yang riil atau profan. "Makanya tidak mungkin terpengaruh dengan pengerahan massa pendukung, justru itu melanggar tradisi," kata Bayu.

Bayu menambahkan pilihan Sultan terhadap figur penggantinya, yang berasal dari anak kandungnya, bisa jadi bertujuan untuk meredam potensi polemik di internal Kraton. Dia memperkirakan, jika Sultan menunjuk penggantinya dari kalangan adik-adik Raja Kraton Yogyakarta itu, polemik lebih keras akan terjadi. "Di setiap periode suksesi Raja Kraton Yogyakarta selalu ada polemik keras," kata dia.

Sebagai pengecualian, hanya terjadi pada proses suksesi untuk memilih pengganti Sultan Hamengku Buwono IX. Menurut Bayu, sebabnya tentu mudah ditebak karena saat itu masa Orde Baru. "Karena konflik haram di masa Orde Baru," kata peneliti budaya Jawa tersebut.

Seperti diberitakan sebelumnya, salah satu isi Sabda Raja I yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian adik-adik Sultan adalah soal penggantian gelar Raja Kraton Yogyakarta. Gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo.

Sabda Raja I menghapus gelar lama Sultan yang selama ini tercatat dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY. Nama gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Adapun Sabda Raja II berisi tentang pemberian gelar baru kepada putri pertama Sultan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pembayun menerima gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Karena menerima gelar itu, Pembayun diperintahkan untuk duduk di atas Watu Gilang atau berarti dia dipilih sebagai calon pengganti Sultan.
Banyak argument dan pendapat dari beberapa pengamat politik bahkan sampai ke priyai mengenai sabda Sultan HB X . dengan mengatas namakan wahyu tuhan lewat bisikan para leluhurnya. Mistis sangat kental di Negara Indonesia sangat sulit dijelaskan dan dibuktikan tergantung dari pribadi masing-masing akan mengaggap hal ini nyata atau kebohongan belaka, namun pada dasarnya sultan HB X hanya menjalankan tugas sebagai seorang raja di kraton Jogjakarta dimana ia menerima wahyu melawiti bisikan para leluhurnya. Pada khasus ini banyak masyarakt yang kecewa dengan pendapat sultan terlebih lagi dengan duwuh leluhur disitu tertulis bahwa "Siro adi ingsun, sekseono ingsun Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo Kadawuhan netepake Putri Ingsun Gusti Kanjeng Ratu Pembayun tak tetepake Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun."

Setelah membeberkan sabda raja dan duwuh, Sultan HB X menegaskan, tidak ada pengangkatan GKR Mangkubumi dari yang sebelumnya GKR Pembayun, menjadi putri mahkota. "Saya hanya didawuhi untuk menetapkan nama, selanjutnya itu bukan lagi wewenang saya," pungkasnya