Kamis, 09 April 2015

Tugas Ilmu Sosial Budaya

NAMA                    : ANAS RASHIDI
KELAS                   : 1IA18
Npm                       : 51414008
Mata KULIAH   : Ilmu sosial budaya

SOSIAL BUDAYA SULAWESI TENGAH
yang dapat memajukan dan menghambat perkembangan


Sosial Budaya Sulawesi Tengah
Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut. Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu:
1.        Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
2.        Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
3.        Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
4.        Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
5.        Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
6.        Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
7.        Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
8.        Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
9.        Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
10.    Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
11.    Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
12.    Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
13.    Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
14.    Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
15.    Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
16.    Etnis Dampal berdiam di Dampalkabupaten Tolitoli
17.    Etnis Dondo berdiam di Dondokabupaten Tolitoli
18.    Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
19.    Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Dari 19 kelompok/ etnis tersebut, Jumlah tokoh pemangku adat adalah sebanyak 216 orang. Di samping 12 kelompok etnis, ada beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama islam, lainnya Kristen, Hindu dan Buddha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu. Secara tradisional, masyarakat Sulawesi Tengah memiliki seperangkat pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu ivo (sejenis pohon beringin) yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian adat ini dibedakan untuk kaum pria dan kaum wanita.

Unsur-unsur adat dan budaya yang masih dimiliki antara lain:
1.        Pakaian adat terbuat dari kulit kayu ivo
2.        Rumah adat yang disebut tambi
3.        Upacara adat
4.        Kesenian (Modero/ tari pesta menyambut panen, Vaino/ pembacaan syair-syair yang dilagukan pada saat kedugaan, Dadendate, Kakula, Lumense dan PeuleCinde/ tari untuk menyambut tamu terhormat, Mamosa/ tarian perang, Morego/ tari menyambut pahlawan, Pajoge/ tarian dalam pelantikan raja/ pejabat dan Balia/ tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme).

Selain mempunyai adat dan budaya yang merupakan ciri khas daerah, di Sulawesi Tengah juga memiliki kerajinan-kerajinan yang unik juga yaitu:
1.        Kerajinan kayu hitam (ebony)
2.        Kerajinan anyaman
3.        Kerajinan kain tenun Donggala dan
4.        Kerajinan pakaian dari kulit ivo.

Secara Umum kondisi keberagamaan agama yang dianut oleh masyarakat pada tahun 2005 terdiri dari:
1.        Masyarakat penganut Agama Islam dengan tingkat persentase sebesar 78,9%
2.        Masyarakat penganut Agama Kristen Protestan dengan tingkat persentase sebesar 16,29%
3.        Masyarakat penganut Agama Kristen Katolik dengan tingkat persentase sebesar 1,47%
4.        Masyarakat penganut Agama Hindu dengan tingkat persentase sebesar 3,07%
5.        Masyarakat penganut Agama Buddha dengan tingkat persentase sebesar 0,68%.

Keberagaman pemeluk agama di Sulawesi Tengah di komunikasikan melalui Forum Komunikasi Antar Umat Beragama yang berfungsi mendinamisir kerukunan kehidupan antar umat beragama, intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, dengan pola saling menghargai antar satu sama lainnya.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.

Budaya Sulawesi Tengah Secara Umum
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemoyang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan. Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri. Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.

        A. bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya,  Sibovi dan Pandere), bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Uniknya, semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
               B.     SOSIAL BUDAYA
Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong), suli (suling).
Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam, seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Di daerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro) dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerintah Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong). 
C.    KESENIAN
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II. Tarian in adalah tarian tradisional

        Masyarakat Adat Di Sulawesi Tengah
Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini, ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka.
Hingga saat ini, Masyarakat Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial.
Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak asasi masyarakat adat terus digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat Dan Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka yaitu;
1)      Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
2)      Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan;
3)      Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat;
4)      Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan konservasi lokal yang berlaku dikomunitasnya.
Dalam praktek pengelolaan hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat Adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan sosial masyarakat adat dan sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas Masyarakat Adat.
Contoh konkrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata kelola), berdasarkan kearifan lokal, sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu, Taa Wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir.
         
  Perspektif Sulawesi Tengah
Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Sulawesi Tengah secara riil masih ada, seperti masyarakat Tau Ta’a di kabupaten Tojo Una-Una, kabupaten Banggai dan kabupaten Morowali melalui kekerabatan herois dibawah pimpinan seseorang telenga’.Begitu juga masyarakat Kulawi, Sigi dan Pipikoro sub etnik yang menggunakan bahasa ‘Ija, Moma dan Oma. Di kabupaten Sigi juga masih kuat intensitas norma hukum adat.Tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam “van Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota Kerajaan Sigi). Orang-orang Sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memegang teguh adat istiadat mereka, seperti “Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake).
Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah membutuhkan pengakuan perlindungan dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapibukan berarti setiap perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan (hetonderwerp) pengakuan dan perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memperhatikan norma-norma yang didelegasikan (delegatie van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut paut dengan norma-norma teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya melalui lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu, dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing komunitas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. Kedua, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi Tengah. Apabila tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisional atas sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat yang tradisional. Hal-hal tersebut merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern, yang selama ini masih dalam episode termarginalkan dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern yang di atur oleh hukum modern yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan benteng yang kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar