NAMA :
ANAS RASHIDI
KELAS : 1IA18
Npm : 51414008
Mata KULIAH : Ilmu sosial budaya
SOSIAL BUDAYA
SULAWESI TENGAH
yang dapat memajukan
dan menghambat perkembangan
Sosial Budaya Sulawesi
Tengah
Ibukota Sulawesi Tengah
adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu
yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut. Penduduk asli Sulawesi
Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu:
Dari 19 kelompok/ etnis
tersebut, Jumlah tokoh pemangku adat adalah sebanyak 216 orang. Di samping 12
kelompok etnis, ada beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti
suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku
Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22
bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun
masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli,
Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar
serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur.
Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama
islam, lainnya Kristen, Hindu dan Buddha. Tingkat toleransi beragama sangat
tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di
daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan
seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau
bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan
upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur
dan tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu. Secara tradisional,
masyarakat Sulawesi Tengah memiliki seperangkat pakaian adat yang dibuat dari
kulit kayu ivo (sejenis pohon beringin) yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian
adat ini dibedakan untuk kaum pria dan kaum wanita.
Unsur-unsur adat dan budaya yang masih
dimiliki antara lain:
1. Pakaian adat terbuat dari
kulit kayu ivo
2. Rumah adat yang disebut
tambi
3. Upacara adat
4. Kesenian (Modero/ tari
pesta menyambut panen, Vaino/ pembacaan syair-syair yang dilagukan pada saat
kedugaan, Dadendate, Kakula, Lumense dan PeuleCinde/ tari untuk menyambut tamu
terhormat, Mamosa/ tarian perang, Morego/ tari menyambut pahlawan, Pajoge/
tarian dalam pelantikan raja/ pejabat dan Balia/ tarian yang berkaitan dengan
kepercayaan animisme).
Selain mempunyai adat dan
budaya yang merupakan ciri khas daerah, di Sulawesi Tengah juga memiliki
kerajinan-kerajinan yang unik juga yaitu:
1. Kerajinan kayu hitam
(ebony)
2. Kerajinan anyaman
3. Kerajinan kain tenun
Donggala dan
4. Kerajinan pakaian dari
kulit ivo.
Secara Umum kondisi keberagamaan agama yang dianut oleh masyarakat pada tahun 2005 terdiri dari:
1. Masyarakat penganut Agama
Islam dengan tingkat persentase sebesar 78,9%
2. Masyarakat penganut Agama
Kristen Protestan dengan tingkat persentase sebesar 16,29%
3. Masyarakat penganut Agama
Kristen Katolik dengan tingkat persentase sebesar 1,47%
4. Masyarakat penganut Agama
Hindu dengan tingkat persentase sebesar 3,07%
5. Masyarakat penganut Agama
Buddha dengan tingkat persentase sebesar 0,68%.
Keberagaman pemeluk agama
di Sulawesi Tengah di komunikasikan melalui Forum Komunikasi Antar Umat
Beragama yang berfungsi mendinamisir kerukunan kehidupan antar umat beragama,
intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah,
dengan pola saling menghargai antar satu sama lainnya.
Pertanian merupakan sumber
utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman
perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan,
beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan
andalan Sulawesi Tengah.
Budaya Sulawesi Tengah Secara Umum
Sulawesi Tengah kaya akan
budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek
kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama
adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa
bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Karena banyak
kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di
antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat.
Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur
dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di
bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado,
terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemoyang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari
Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten
Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat
penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa.
Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India
dan Jepang masih dapat ditemukan. Sementara masyarakat pegunungan memiliki
budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski
demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan
Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai
pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang
dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo
atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival
atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada
pula lumbung padi yang disebut Gampiri. Buya atau sarung seperti model Eropa
hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang
emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa.
Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang
panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada
hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di
pinggang melengkapi pakaian adat.
A. bahasa
Suku Kaili mengenal lebih
dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang
hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yang berbeda satu dengan
lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai
bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo
ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa
Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di
sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah
kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi
dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan
Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan
Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan
Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi dan Pandere), bahasa Edo
(Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa
Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan
Poso). Uniknya, semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
B. SOSIAL BUDAYA
Sebagaimana suku-suku
lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat
sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat
sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam
hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta
perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian
(no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen
(no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan
penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa
sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini
masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama
Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara
upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga
upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama)
dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya
berdasarkan ajaran agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa
instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain :
Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai),
nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan
datar/kecil), goo (gong), suli (suling).
Salah satu kerajinan
masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita
didaerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa
Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang
dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama
tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja.
Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam, seperti
warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet
(merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Di daerah Kulawi masih
ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang
disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh
para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke
Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh
nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)
dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah
datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari
Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili
setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul
Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering
melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya.
Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah
pengawasan Pemerintah Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat
nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan
kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
C.
KESENIAN
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah
bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki
instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi
sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis
Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada
upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih
populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian.
Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika
festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah
Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti
masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika
musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu.
Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan
dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan
kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II. Tarian
in adalah tarian tradisional
Masyarakat
Adat Di Sulawesi Tengah
Masyarakat Adat
adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara
turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah
dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan
Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Di
Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat sebagai anggota
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di
Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini, ada 201 komunitas
Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah yang tersebar di 11
Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan pesisir laut dengan beragam
adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya hutan yang ada
di wilayah adat mereka.
Hingga saat ini, Masyarakat
Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai
dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah
panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa
kolonial.
Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat Adat
di Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari
pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak asasi masyarakat adat
terus digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai
daerah di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan
perubahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional,
beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan
perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat Dan Pengelolaan Hutan Di
Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat
Adat memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka yaitu;
1) Secara sosial-ekologi,
disamping sebagai penopang siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan
mengatur iklim planet bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
2) Secara sosial-ekonomi;
keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari
Sumber Daya Hutan untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan;
3) Secara sosial-budaya, hutan
sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai
tempat ritual adat;
4) Secara ilmu dan teknologi,
masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang
sarat dengan etika dan konservasi lokal yang berlaku dikomunitasnya.
Dalam praktek pengelolaan
hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan
kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan
berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat
Adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan
adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan sosial masyarakat adat dan
sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas
Masyarakat Adat.
Contoh konkrit pengelolaan hutan yang
dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata kelola), berdasarkan kearifan lokal,
sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata
Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu, Taa Wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di
daerah pegunungan dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir.
Perspektif
Sulawesi Tengah
Komunitas
Masyarakat Adat di wilayah Sulawesi Tengah secara riil masih ada, seperti
masyarakat Tau Ta’a di kabupaten Tojo Una-Una, kabupaten
Banggai dan kabupaten Morowali melalui kekerabatan herois
dibawah pimpinan seseorang telenga’.Begitu juga masyarakat Kulawi,
Sigi dan Pipikoro sub etnik yang menggunakan bahasa ‘Ija, Moma dan Oma. Di kabupaten Sigi juga masih kuat intensitas norma hukum
adat.Tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam “van
Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan
Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan
bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota Kerajaan
Sigi). Orang-orang Sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun
peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memegang
teguh adat istiadat mereka, seperti “Baliya” dalam rangka upacara
penyembuhan orang sakit (wurake).
Masyarakat
Adat di Sulawesi Tengah membutuhkan
pengakuan perlindungan dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi, bukan berarti setiap perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tentang pengakuan
dan perlindungan masyarakat adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum
adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan (hetonderwerp) pengakuan dan
perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan
hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memperhatikan norma-norma
yang didelegasikan (delegatie van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut
paut dengan norma-norma teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu
sendiri yang mengapresiasinya melalui lembaga adat. Misalnya
pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu, dll.
Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri
mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing
komunitas.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan bahwa masyarakat
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya
berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. Kedua, melakukan kegiatan
pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertetangan
dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya.
Dari ketiga hak
tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah perda tentang
pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi Tengah. Apabila
tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisional atas
sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat yang tradisional. Hal-hal
tersebut merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan
keserakahan modern, yang selama ini masih dalam episode termarginalkan
dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada
umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern
yang di atur oleh hukum modern yang di dasari oleh
pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan
benteng yang kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi
atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar